Photograhpy

8.31.2009

Gadis Di Balik Tiang

| | 1 komentar

S

uasana malam di ibukota mulai merona. Ribuan lampu halogen membuat ibukota jadi semarak. Rintik hujan membuat cahaya lampu-lampu jalanan sedikit memudar. Menambah anggun indahnya ibukota. Tatkala senja , tenggelam, datanglah semua warna-warni ibukota. Menyelimut jakarta dengan glamournya. Dan kini rintik hujan bertambah deras. Bergantilah jalanan yang kering dengan beberapa genangan air yang mulai tumbuh perlahan. Inilah jakarta.

Disebuah persimpangan duduk seorang wanita muda. Pakaian wanita itu tak beda jauh dengan orang-orang yang berada disekitarnya. Terkesan kumuh dan kotor. Umurnya belumlah ada dua puluh tahun. Muka wanita itu masih kekanak-kanakan, lebih bersih daripada teman-temannya yag lain. Tawanya tertahan setelah ia melihat sebuah mobil merci berhenti yak jauh dari tempat ia duduk. Orang didalam mobil itu memandangnya tak henti-henti. Wanita itu ingat dengan jelas siapa orang yang berada diblaik kemudi itu. Orang yang pernah memikat hainya dua tahun silam. Orang yang pernah meyakinkan hatinya bahwa masih ada seorang pria yang berhati baik di dunia ini. Seorang pria yang pernah dicintainya dahulu.

Sang priapun terkejut. Ia tak menyangka akan menemukan mantan kekasihnya disebuah perempatan. Apalagi dengan kondisi yang tak jauh beda dengan seorang pengemis. Hatinya sedikit berdebar. Dibukanya pintu mobil perlahan. Dan ia langsung melangkah menuju wanita itu. Tapi terlambat. Wanita itu lebih seigap darinya. Ia sudah menghilang entah kemana. Masuk kedalam gang-gang sempit yang ramai dengan puluhan orang.

* * *

Malamnya sang pria tak dapat tidur. Ia terus memikirkan kejadian tadi sore. Hatinya sedikit sedih. Ia tak lagi dapat menghilangkan bayang Utami. Dan kini bayang Utami semakin membuat ia sedikit frustasi. Bayang Utami perlahan mencekik setiap nadi dilam tubuhnya. Bayang seorang wanita kampung yang pernah menarik hatinya dahulu. Ia kenal baik utami. Seperti ia kenal dengan dirinya sendiri. Seorang wanita yang introvert. Cenderung pendiam. Ia selalu beranggapan bahwa dunia selalu memusuhinya. Seorang wanita yang polos yang berasal dari keluarga broken home. Hampir setiap hari didengar curhatan dari utami. Terkadang diselingi pula dengan isak tangis. Ia tak manja. Ia seorang wanita yang tegar. Menghadapi ayangnya yang kasardan ibunya yang entah kemana ia masih bisa tersenyum. Ia menceritakan semua problem-problem tanpa ada yang disembunyikannya. Mugkin juga karena ia adalah anak satu-satunya. Dan karena ia sendiri tak punya ban banyak teman dimasa sekolahnya dahulu. Sehingga tak ada lagi tempat yang enek buat diajak bicara.

Tamapun menerima semua curhatan utami dengan hati yang terbuka. Tak sekalipun pernah Tama merasa bosan setiap kali mendengar Utami curhat. Walau memang hanya itu-itu saja yang dicurhatkan. Dia sangat perhatian terhadap Utami. Utami sudah dianggap seperti adik kandungnya sendiri. Dan memang ia tak punya adik kandung. Ia hanya punya seorang kakak dan itupun lelaki. Praktis ia sangat mendambakan kehangatan dari seorang wanita. Ia ingin sekali merasakan sifat keibuan yang ada pada seorang wanita. Sebuah sifat yang tak pernah dirasakannya sejak lahir. Karena ibunya meninggal beberpa jam saja setelah ia dilahirkan.

Dimatanya, Utami adalah wanita yang biasa-biasa saja. Sangat tertutup terhadap lingkungan dan orang yang belum dikenalnya. Sifat polos yang itulah yang membuat dirinya menjadi begitu perhatian terhadap Utami. Bahkan ketika akhirnya ia menyukai Utami bertambah yakinlah ia bahwa ia tak dapat hidup tanpa Utami. Walau sudah banya ia kenal beratus-ratus wanita. Tapi tetap tak ada yang bisa menyaingi Utami. Baik secara sifat dan kebiasaan. Ia mampu menempatkan diri dengan tepat. Kehadirannya selalu membuat tama menjadi tenang. Hanya Utami yang bisa membuatnya tersenyum, walau memang ia sedang benar-benar sedih. Dan hanya Utamilah yang bisa memberikan sifat keibuan yang memang sejak kecil diharapkannya.

Dan disaat ia resmi berpacaran. Banyak yang berpandangan beda dengannya. Semua mata lantas tertuju pada ia seorang. Banyak teman dan sahabatnya yang tak percaya. Walau sudah berkali-kali diyakinkannya tetap saja mereka masih sukar percaya kepada dirinya. Bagaimana mungkin ia dapat tertarik dengan seorang wanita udik yang pendiam itu. Yang bahkan tak banyak laki-laki yang mau dekat dengannya, walau hanya sebagai teman. Memang wajah Utami tak terlalu cantik. Iapun juga tak jelek. Dia biasa-biasa saja, Bisa dibilang dia seorang yang manis. Perawakannya memang tertutup dan suka menyendiri. Senyumpun dia jarang.

Suasana diluar semakin ramai. Butir-butir hujan sudah mulai bertambah besar. Suara hujan yang bergesekan langsung dengan atap-atap rumah menimbulkan sebuah bunyi-bunyian yang sangat indah. Tama bangkit. Badannya sedikit lelah. Langkah-langkah kakinya agak berat. Ia beranjak mengambil laptop yang teegeletak di sebuah meja. Laptop pertama pembelian ayahnya itu masih seperti yang baru. Laptop dinyalakannya. Sedikit jenuh ia dengan suasana kamar yang begitu-begitu saja. Ingin dirubahnya beberapa interior yang dianggap kurang tepat. Ditempatkan. Jendela kamarnya dibuka dan seketika itu juga hembusan angin malam yang segar bertiup mengusir panas dan sumpek dikamar itu.

Beberapa tetes air hujan membasahi jendela kamarnya. Kamar itu tak terlalu besar. Perabotannyapun tak begitu banyak. Hanya ada sebuah lemari yang berukurun sedang. Didepannya sebuah meja belajar dan beberapa buku tebal ditaruh. Dan disamping meja belajar itu sebuah bedroom ukuran single dengan seprai merah tergeletak dengan rapi. Tidak banyak ornamen-ornamen lainnya. Cat kamar ini berwarna putih cerah. Dibeberapa sudut dinding berderet foto-foto dirinya dengan teman-teman, termasuk juga sebuah foto dirinya dengan Utami. Foto yang didapat sebelum Utami pindah ke sekolah lain. Foto mereka berdua untuk yang terakhir kali.

Dipandanngya layar laptop itu. Jam menunjukan pukukl delapan malam. Tama sedikit bingung apa yang akan dilakukannya. Beberapa lamaya ia hanya memutar-mua\tar kursor dilayar. Akhirnya diputar juga sebuah lagu dengan volume sedang. Lagu dari the virgin itu mengalun dengan sendu. Setiap kata dalam liriknya menusuk hati Tama. Nada-nada minor dalam lagu itu membuat lubuk hati Tama berteriak. Ia mulai merasakan bagaimana perasaan sipenulis lagu waktu membuat liriknya. Mungkin tak jauh beda dengan dirinya sekarang. Sebnuah centa yang terlarang antara kedua sejoli. Walau memang mereka saling mencintai. Tapi tetap ada juga jurang pemisah yang cukup dalam hingga mampu memisahkan mereka berdua sekian lamanya.

Angin malam berhembus perlahan. Beberapa daun muda terombang-ambing diluar sana. Rintik hujan sudah mulai reda dan menyisakan keheningan sesaat. Tama melangkah ke jendela, dilihatnya awan-awan menutupi cahaya rembulan. Hanya ada sedikit pendaran dari bulan yang sudah purnama itu. Dilangit terlihat beberapa ekor burung terbang rendah. Kepakan sayapnya tak mampu menahan laju angin yang cukup kencang. Burung itu terbang tak beraturan. Kanan-kiri tertiup angin. Tama terperangah. Suara dering hapenya memecah kesunyian. Diangkatnya hape itu. Terlihat ada sebuah pesan masuk.

-Halo, loe gak lupakan acara malam ini?cepetan dateng ya. Coz temen-temen udah pada ngumpul. Tinggal loe sama si dewi yang belum. Kutunggu-

Tama berpikir sejenak. Ia ingat-ingat kembali acara malam ini. Ini malam jum’at dan...dan..oh iya. Sekarang si Dewi ulang tahun. Dan ia sama sekali lupa bahwa ia harus ke kemang. Disana mereka berjanji akan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tanpa pikir panjang ia bereskan laptpopnya. Dan langsung bergegas ke mobil kesayangannya. Dan ia pun meluncur.

Dua menit kemudian setelah ia pergi dari rumah dering handphonenya berbunyi kembali.

-eh sob, Dewi jangan lupa dijemput. Dia tadi sms gue bilang minta dijemput loe. Ok..??-

Tama menarik nafas panjang. Kenapa harus aku yang menjemput dia pikirnya. Tapi apa boleh buat. Disetirnya mobil itu menuju sebuah perumahan elite di Jakarta. Ia berpikir pasti akan lama menunggu seorang wanita berdandan. Memang ia belum pernah menunggu seorang wanita berdandan. Karena pacarnya Utami memang tidak suka berdandan. Dan juga ia tak pernah sama sekali kerumahnya Utami. Pernah ia berniat kerumahnya Utami. Tapi selalu ditolak dengan halus. Ia tak bisa tak bisa memaksa. Banyak alasan dilontarkannya. Mulai dari enggak enak sama tetangga,atau lagi sibuk hingga ayahnya yang galak.

Perjalan dari rumahnya ke rumah Dewi berjalan dengan lancar tanpa ada macet sama sekali. Biasanya sepanjang jalan ini padat dengan lalu lintas. Tapi sekarang sangat sepi. Bahkan tadi sempat dipacu mobilnya sampai 120 km/j. Seolah jalanan tau bahwa ia memang tak meu terjebak dalam kemacetan.

Mobil itu belok dengan perlahan. Beberapa polisi tidur melintang dipintu masuk perumahan itu. Dibunyikannya klakson mobil. Dan seorang satpam dengan ramah mempersilahkan mobilnya masuk. Palang berwarna hitam-putih itu sejak tadi hanya dibuna separuh. Sang satpam menyapa ia dengan ramah sewaktu mobilnya berpas-pasan di pos jaga. Tama hanya bisa tersenyum simpul.

Mobil merci itu berjalan perlahan di komplek perumahan elite itu. Sorot lampunya menerangi jalan yang mulus itu. Bebrapa rumah mewah berbaris samping-meyamping. Diperempatan depan merci itu dibelokkannya kekiri. Dan berhenti tepat beberapa puluh meter dari perempatan tadi. Berhenti tepat di depan didepan rumah tingkat berwarna biru muda. Klakson dibunyikannya. Selintas kemudian jendela ditingkat atas terbuka sedikit. Gordennya tersingkap barang sepuluh sentimeter. Dan tampaklah wajah putih Dewi yang disertai sebuah senyum yang manis.

Ibunya Dewi keluar dari ruang tamu. Beranjak melalui jalan setapak menuju pintu gerbang. Dan dibukanya pintu gerbang itu. Tama turun dari mobilnya.

“malam tante...” ucapnya dengan ramah.

“malem Tama, ayo masuk sebentar, tante sudah buatkan teh hangat,ayo masuk sebentar, dewinya juga belum selesai dandan..”

“terima kasih tante..”

Meraka berdua masuk beriringan, Sitante dikanan dan ia dikir. Tak ada percakapan selama mereka berjalan. Sitante hanya diam saja dengan mukanya yang bersahabat, sekalikali meliriknya dengan santai. Pintu bercat coklat muda itu terbuka lebar. Lantainya marmer berwarna cream. Beberapa perabot menghiasi ruang tamu rumah itu. Agak mewah memang. Maklum ayahnya Dewi menjadi orang penting di sebuah BUMN. Dimejanya ada secangkir teh dan beberapa makanan ringan. Ruang tamu ini tak ada sekat dengan ruang keluarga. Sebuah tangga melinkar ada di sudut ruangan.

“Ayo duduk, anggep saja rumah sendiri..gak usah malu-malu”

“iya tante, makasih.”

Tama duduk disebuah sofa warna merah menyala. Berhadap-hadapan langsung dengan ibunya dewi. Dipandangnya sekeliling dengan baik. Seperti seorang maling yang hendak mengawasi rumah yang akan dicurinya. Terkadang goawsinya orang yang sedang dihadapannya itu. Ibunya dewi terlihat masih muda. Kulitnya belumlah banyak keriput. Wajahnyapun masih cerah. Tak beda jauh dengan Dewi. Karena memang sifat-sifat ibunya menurun kepada Dewi.

“ Ayo diminum tehnya. Jangan Cuma diliht aja..kenapa? tama gak suka teh..??apa mau tante bikinkan jus..??”

“ehm ..gak usah tante.saya suka teh kok..”

“nah..kalo gitu diminum donk tehnya. Nanti keburu dingin.”

“ iya tante..”ucap tama singkat.

Dan tanpa basa-basi cangkir teh berwarna hijau itu diambilnya. Lantas diminum teh itu hingga tersisa sedikit saja. Diletakan kembali cangkir itu pada meja tadi. Sang nyonya rumah tersenyum ramah. Dilriknya arloji ditangan kiri. Sudah lima belas menit ia menunggu. Tapi belum tampak Dewi akan mucul.

“tehnya mau lagi..??”tanya tante itu.

“gak usah tante, makasih..”

“nah kuenya dimakan. Ayo dicoba ini buatan tante lho..?”

“oh iya ..? makasih. Pah hendra mana tante.”

“oh..biasa jam segini masih dikantor. Nanti jam sepuluh baru pulang, nah itu Dewi sudah selesai..”

Dilihatnya tangga yang melingkar itu. Dewi turun dengan perlahan. Gaun merahnya membuat ia begitu anggun. Sebuah senyum manis terlontar dari bibirnya. Tama berdiri, diikuti nyonya rumah. Dewi berjalan kearahnya. Dengan gaya bak peragawan langkahnya terkesan beraturan. Harum oarfum menyengat hidung Tama. Sungguh anggun Dewi. Tapi tetap dalam hatinya ia tak bisa melupakan sedikitpun bayang Utami. Keanggunan dewipun seperti terbuang sia-sia. Dihatinya hanya ada satu nama yang sudah mendarah daging. Utami.

“mami.. dewi pergi dulu ya..?”

“iya sayang. Hati-hati dijalan ya..!!..Tama tante nitip Dewi sama kamu ya..??”

“ iya tante. Tenang aja..”

“senyum tante mengandung sebuah makna. Makna yang tak mungkin disingkapnya sendiri. Dewi memegang tangannya. Terasa sedikit kehangatan menjalari tubuh Tama. Tangan Dewi sangat halus. Berbeda dengan tangan Utami yang pernah dipegannya dahulu. Tama diam saja tangannya dipegang seperti itu didepan orang tuanya Dewi. Dewi beranjak keluar sambil terus memegang tangannya, sedikit malu ia sama ibunya Dewi. Pegangan tangan dewi sedikit dipererat, Mereka pun masuk ke mobil yang sedari tadi sudah menunggu.

* * *



Bersambung.......

1 komentar:

ecocard casinos mengatakan...

It is simply magnificent idea

 
Twitter Facebook Dribbble SutaStudio Behance Pinterest